Minggu, 06 Maret 2016

pandangan mengenai "iman" dan "kufur" menurut golongan-golongan dalam Islam



A.    Pengetian iman
Esensi iman itu adalah tashdiq bil qalbi yaitu penerimaan atau pembenaran atau pengakuan hati. Hati yang dimaksud ialah potensi yang tersimpan dalam diri setiap manusia yang berfungsi sebagai tempat sebagai perasaan batin dan tempat penyimpanan pengertian. Pengakuan dengan lidah (ikrar bilisan) dan pengalaman dengan anggota tubuh ( af’alu bi arkan ), bukan lagi disebut iman arena dua terakhir ini bukan lagi pekerjaan hati. Dengan demikian kedua hal ini  lebih tepat disebut islam bukan esensi iman.
Jelasnya hakikat (esensi) iman ialah pengakuan hati. Jika demikian halnya maka bagaimana pendapat umum umat Islam yang mengatakan bahwa rukun iman itu ada enam ? pada dasarnya pendapat itu tidak dapat disalahkan, namun yang perlu diluruskan adalah bahwa Allah maupun nabi saw tidak pernah secara jelas menyebut rukun-rukun iman. Yang ada adalah objek-objek yang wajib diimani, yaitu percaya atau beriman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada kitab-kitab Allah, kepada rasulnya, kepada hari kiamat dan qadha dan qadar.
Kewajiban beriman kepada enam unsur ini  ditegaskan melalui ayat al quran dan hadist. Seperti : pada surah al-Baqarah ayat 285 tentang kewajiban beriman kepada Allah, malaikatnya, kitab-kitabnya dan rasulnya :
z`tB#uä ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 <@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur Ÿw ä-ÌhxÿçR šú÷üt/ 7ymr& `ÏiB ……¾Ï&Î#ß  
”Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya",(Q.S.Al-Baqarah : 285.).
….قال فأخبرنى عن الإيمان قا ل أن تؤمن با الله و ملا  ئكته وكتبه ورسله واليوم الأ خر وتؤمن بالقدر خيره وشره . رواه مسلم.
     “(jibril) berkata : beritahu aku tentang iman ( ya rasulullah ). Rasul menjawab : iman ialah bahwa engkau beriman  akhirat kepada Allah, malaikat-malaikatnya, rasul-rasulnya, dan hari akhirat. Dan engkau berimn kepada qadha dan yang buruk dari Allah.” (H.R.Muslim).[1]
B.     Perbandingan antar aliran-aliran tentang  iman dan kufur :
            Persoalan masalah iman dan kufur dimunculkan pertama kali oleh khawarij ketika mencap kafir sejumlah tokoh sahabat nabi Muhammad Saw, yang dipandang telah berbuat dosa besar, antar lain Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi sufyan, Abu Musa Al-asy’ari, Amr bin ‘Ash, Thalhah bin ‘ubaidilha, Zubair bin ‘Awwam, dan ‘Aisyah, istri Rasullah Saw. Masalah ini dikembangkan oleh khawarij dengan tesisnya utama bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.[2]
Khawarij memakai semboyan la hukma illa lillah. Atas dasar itulah mereka menuduh kafir terhadap Ali, Mu’awiyah, dan semua pengikut mereka. Mereka memperkuat tuduhan itu dengan ayat Al-quran :
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأ ولئك هم الكافرون
Pernyataan teologis khawarij tersebut menjadi bahan perbincangan aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh, termasuk alian Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Marturidiah mengambil bagian dalam pemilik tersebut. Bahkan, di dalam aliran tersebut terdapat nuansa perbedaan pandangan di antara sesama pengikutnya.[3]
1.      Aliran Khawarij
Diungkapkan dalam sejarah mengenai masalah iman dan kufur, bahwa Khawarij mula-mula memunculkan masalah persoalan teologis seputar masalah “apakah ‘Ali dan pendukungannya adalah kafir atau tetap mukmin ? “apakah Mu’awiyah dan pendukungannya telah kafir atau mukmin ? “jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan dasar teologi mereka. Mereka berpendapat karena “Ali dan Mu’awiyah telah melakukan tahkim kepada manusia, mereka telah berbuat dosa besar.
Iman dalam pandangan mereka, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Akan tetapi, mengerjakan segala perintah kewajiban  agama juga merupakan bagian dari keimanan. Siapa pun  yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan Muhammad adalah rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama, bahkan melakukan perbuatan dosa, oleh Khawarij dipandang kafir.
Sebagai dijelaskan pada bagian terdahulu, semboyan la hukma illa lillah menjadi asas bagi mereka bagi mereka dalam mengukur apakah seseorang masih mukmin atau sudah kafir. Asa itu membawa mereka kepada paham, setiap orang yang melakukan perbuatan dosa besar adalah kafir, karena tidak sesuai dengan hokum yang ditetapkan Allah. Dengan demikian, orang yang berzina, membunuh sesama manusia tanpa sebab sah, mukmin, ia telah kafir. Perbuatan  dosa yang membawa kepada kafirnya sesseorang menurut golongan ini terbatas pada dosa besar.
Al-Muhakkimah, salah satu golongan khawarij asli yang pertama memunculkan paham kafir pada setiap orang yang berbuat dosa besar dan kekal di neraka.
Golongan khawarij yang lebih ekstrem ialah al-Azariqah. Golongan ini menganggap syirik atau polytheisme orang yang melakukan dosa besar. Di dalam ajaran islam dosa syirik atau polytheisme lebih besar dari dosa kafir. Mereka juga berpendapat setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka adalah musyrik yang boleh dibunuh.
Berbeda dengan golongan al-Zariqah, Al-Najdat bersikap lebih lunak. Menurut golongan ini orang yang berdosa besar menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sepaham dengan golonganya. Adapun pengikutnya jika melakukan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan kekal dalam neraka dan kemudian akan masuk surga. [4]
Doda kecil akan menjadi besar, kalau dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.
Golongan khawarij lain ialah al-Ajaridah, golongan ini lebih lunak lagi dari Nadjat. Menurutgolongan ini orang islam yang berbeda di luar ilayah kekuasaan mereka bukan musyrik tetapi tetap  mukmin. Padahal yang lain mereka kemukakan ialah anak kecil tidak menjadi musyrik karena tuannya. Oleh karena itu tidak boleh dibunuh.
Al-Sufriyah berpendapat, tidak semua dosa besar menjadi kufur. Pelaku dosa besar yang menjadi kafir ialah yang melakukan dosa yang diancam dengan sangsi akhirat seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang yang berbuat dosa besar yang ada saingannya didunia seperti berzina dan membunuh tidak menjadi kafir.
Golongan terakhir dari khawarij ialah al-ibadiah. Mereka berpendapat orang islam yang tidak sepaham dengan mereka kafir bukan musyrik dan boleh mengawini mereka. Orang yang berbuat dosa besar dipandang kafir, hikmah buka kafir millah. Kelihatan golongan al-ibadiah ini termasuk yang paling moderatdiantara golongan-golongan khawarij.[5]
2.      Aliran Muji’ah
Abu hasan al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah berdasarkan pandangannya tentang iman sebanyak 12 subsekte, yaitu al-jahmiyah, Ash-shalihiah, al-Yunusiah, Asy-syimirah, As-saubaniyah, An-Najjariah, Al-Kailaniah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, at-Tumaniah, al-Marisiah, dan al-karamiah. Semantara itu, Harun Nasution dan Abu zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah sunnah) dan Murji’ah ekstrem (Murji’ah bid’ah).
Iman menurut Abu Hanifah adalah Iqrar dan tashdiq. Ditambahkannya pula bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Hal ini  merupakan sikap umum yang ditunjukkan oleh Murji’ah, baik ekstrem maupun moderat, seperti Al-jahmiah, As-Shalihiah, Asy-Syimriah, dan Al-Gailaniah. Selanjutnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh umat Islam sama dalam tauhid dan keimanan. Meskipun demikian, mereka berbeda dari segi intensitas amal perbuatannya. [6]
Golongan Murji’ah ekstrem mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati ( tashdiq bi al-qalb). Artinya mengakui dengan hati bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad rasulnya. [7]Berangkat dari konsep ini, Murji’ah berendapat,seseorang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar, bahkan menyatakan kekufurannya secara lisan. Demikian juga tidak kafir orang islam yang menyembah berhala dan ikut merayakan natal dengan mengikuti ibadah-ibadah Kristen di dalam gereja, kaena yang paling penting menurut mereka adalah tashdiq dalam hati, sedangkan amal mereka pandang tidak penting.
Diantara alasan mereka yang mempergunakan untuk menguatkan paham tersebut ialah pendekatan bahasa, iman dalam bahasa ialah Tashdiq, sedangkan perbuatan dalam bahasa tidak dinamakan tasdiq. Persoalam tashdiq urusan hati, sedangkan perbuatan urusan anggota tubuh (al-arkan) antara keduanya tidak saling mempengaruhi. Jadi seseorang baru dapat Dikatakan kafir, jika ia tidak mengakui dalam hati terhadap Allah dan kerasulan Muhammad.
Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tashdiq al-qalb dan iqrar bi al-lisan. Pembenaran dalam hati saja tidak cukup. Demikian dengan lidah, tidak dapat dikatakan iman. Kedua unsur itu merupakan juzu’ iman yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut mereka bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak dikekal di neraka, tapi dihukum dalam neraka sesuai dengan dosa yang mereka lakukan. Kalau tuhan mengampuninya ia bebas dari neraka, kalau tidak dapat ampunan, ia masuk neraka tetapi akhirnya dikeluarkan dan masuk surga.
Konsep kafir menurut mereka, hanyalah orang yang tidak menganut paham tashdiq dan iqrar. Jadi golongan ini kelihatan sangat berbeda dengan khawarij. Kalau khawarij mementingkan iman, Murji’ah lebih mementingkan iman dari perbuatan perbuatan tidak dapat dijadikan ukuran terhadap mukmin atau tidaknya seseorang..
Satu hal yang patut dicatat adalah seluruh subsekte Murji’ah yang disebutkan oleh Asy’ari, kecuali As-Saubaniah, At-Tuminiah, dan Al-Karramiah, memasukkan unsur Ma’rifah (pengetahuan) dalam konsep iman mereka. Pertanyaanya, apa yang dimaksudkan dengan Ma’rifah ? mereka beranggapan bahwa yang dimaksud dengan ma’rifah adalah cinta kepada tuhan dan tunduk kepadanya (al-mahabah wa al-khudu’).[8]
3.      Aliran Mu’tazilah
Menurut golongan ini iman bukan hanya tashdiq dalam arti menerima sebagai suatu yang benar apa yang disampaikan orang lain, akan tetapi  iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dapat dikatakan mukmin.tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berati pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada tuhan.
Aspek penting konsep Mu’tazilah tentang iman adalah yang mereka indefikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dengan akal). Ma’rifah menjadi unsur penting dari iman  karena pandangan Mu’tazilah yang bercorak rasional. Ma’rifah sebagai unsur   pokok yang rasional dari iman, dalam pandangan Mu’tazilah berimplikasi pada sikap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang  lain (al-iman bi at-taqlid). Disini Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logika atau penggunaan akal bagi keimanan. Apalagi bagi Mu’tazilah, iman seseorang dikatakan benar apabila berdasarkan akal, bukan taqlid kepada orang lain.
Pandangan Mu’tazilah seperti diatas, menurut Toshihiko Izutsu, pakar teologi Islam asal Jepang, sangat sarat dengan konsekuensi dan implikasi yang cukup fatal. Sebab, hanya  para mutakallim (teolog) yang benar-benar dapat menjadi orang yang beriman. Sama halnya masyarakat awam yang mayoritas umat biasa dengan pemikiran teologis, menurut konsepsi Mu’tazilah tersebut tidak dipandang memenuhi sebagai orang yang benar-benar beriman (mukmin). [9]
Selain itu, istilah kafir menurut Mu’tazilah ditunjukkan kepada orang yang berhak menerima siksa berat di neraka. Oleh karena pelaku dosa besar tidak kafir, mereka tidak berhak mendapat siksa yang berat di neraka. Semestinya ia tidak perlu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi karena ia bukan mukmin ia tidak dapat dimasukkan ke dalam surga. Jadi satu-satunya tempat buat dia adalah neraka, atas dasar keadilan ia dimasukkan kedalam neraka dengan siksa yang lebih ringan.[10]
Sungguhpun menurut Mu’tazilah iman bukan tasdiq, tetapi amal, namun kelihatan mereka tidak dapat memisahkan iman dan tasdiq. Sebab, kalau tasdiq tidak dipandang sebagai iman, semestinya orang mukmin yang melakukan dosa besar atau tidak mengamalkan perintah Allah yang bersifat wajib kafir bukan fasik, bukan kafir dan bukan mukmin. Mereka tidak menghukumnya kafir karena ia masih mengakui ke esaan tuhan dan masih banyak perbuatan  baik yang masih dikerjakannya. Tidak dikatakan mukmin karena imannya tidak sempurna, karena iman itu merupakan sifat yang terpuji, tidak pantas pelaku dosa besar mendapat pujian. Hal ini menunjukkan tashdiq bagi mereka merupakan unsur iman, seperti halnya amal dan pengakuan dengan lidah (iqrar). Jadi konsepsi iman yang dimajukan oleh kaum Mu’tazilah ialah pengakuan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota tubuh.
Karena bagi mereka amal merupakan unsur keimanan, ia dapat. Karena meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya, imannya semakin meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya, imannya semakin bertambah. Sebaliknya, apabila setiap kali berbuat maksiat, imannya semakin berkurang. Kenyataan ini dapat dipahami seperti halnya Khawarij, memasukkan seperti unsur amal sebagai unsur peting dari iman (al-‘amal juz min al-iman).
4.      Aliran Asy’ariyah
Di dalam karya-karya abu Al-Hasan Al-Asy’ari.seperti Maqalat, al-ibanah dan al-Luma’, iman didefinisikannnya secara berbeda satu sama lain. Dalam Maqalat dan Ibanah disebutkan bahwa iman adalah Qawl dan amal dan dapat berkurang. Dalam al-Luma’, iman diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya bahwa kata “mukmin”, seperti dijumpai dalam al-quran surat Yusuf ayat 17 memiliki hubungan makna dengan kata shadiqin dalam ayat itu, dengan demikian, menurut Al-Asyari, iman adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan hati).[11]
Oleh karena itu, iman menurut golongan ini hanyalah tashdiq, sebab tashdiq itu  merupakan hakikat dari ma’rifah. Siapa yang mengetahui sesuatu itu benar, ia akan membenarkannya dengan hatinya.
Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq. Argumenttasi mereka ialah surah an-nahl ayat 106 :
`tB txÿŸ2 «!$$Î/ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¾ÏmÏZ»yJƒÎ) žwÎ) ô`tB on̍ò2é& ¼çmç6ù=s%ur BûÈõyJôÜãB Ç`»yJƒM}$$Î/  
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).”[12]
Seseorang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan tuhan dan rasulnya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada diluar juzu’ iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam hatinya.
Iman dapat bertambah dan berkurang. Bertambah dan berkurangnya seseorang iman terletak pada keadaan pengakuan hati seseorang terhadap Allah dan rasulnya. Dalil naqli yang mereka pakai ialah surat al-anfal ayat 2 :
$yJ¯RÎ) šcqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sŒÎ) tÏ.èŒ ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sŒÎ)ur ôMuÎ=è? öNÍköŽn=tã ¼çmçG»tƒ#uä öNåkøEyŠ#y $YZ»yJƒÎ)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya).
Dari penjelasan-penjelasan di atas, disamping mengonvergensikan kedua definisi yang berbeda yang diberikan al-ays’ari dalam Maqalat, Al-Ibanah dan Al-Luma’ pada satu titik pertemuan, juga menempatkan ketiga unsur iman itu (tashdiq, Qawl, dan amal) pada posisinya masing-masing. Jadi, bagi Al-Asy’ari juga Ays’ariyah persyaratan minimal untuk adanya iman hanyalah tashdiq, yang diekspresikan secara verbal akan berbentuk syahadatain.[13]

5.      Aliran Maturidiah
Aliran Maturidiah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian iman semacam ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia beragumentasi dengan al-quran surat al-Hujuat ayat 14 .
* ÏMs9$s% Ü>#{ôãF{$# $¨YtB#uä ( @è% öN©9 (#qãZÏB÷sè? `Å3»s9ur (#þqä9qè% $oYôJn=ór& $£Js9ur È@äzôtƒ ß`»yJƒM}$# Îû öNä3Î/qè=è% ( bÎ)ur (#qãèÏÜè? ©!$# ¼ã&s!qßuur Ÿw Nä3÷GÎ=tƒ ô`ÏiB öNä3Î=»yJôãr& $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊÍÈ  
“orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S.Al-Hujurat :14).
            Menurut al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa iman tidak cukup hanya dengan perkataan, sementara kalbu tidak beriman apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pertanyaan iman menjadi batal apabila hati tidak mengikuti ucapan lidah. Meskipun demikian, Al-Maturidi tidak berhenti sampai disana, tashdiq, seperti yang dipahami diatas adalah harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil ma’rifah menurut Maturidi adalah yang didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, al-Maturidi mendasari pandanganya dengan dalil naqli surat Al-baqarah ayat 260. Yang berbunyi :
øŒÎ)ur tA$s% ÞO¿Ïdºtö/Î) Éb>u ÏRÍr& y#øŸ2 Çósè? 4tAöqyJø9$# ( tA$s% öNs9urr& `ÏB÷sè? ( tA$s% 4n?t/ `Å3»s9ur £`ͳyJôÜuŠÏj9 ÓÉ<ù=s% ( tA$s% õãsù Zpyèt/ör& z`ÏiB ÎŽö©Ü9$# £`èd÷ŽÝÇsù y7øs9Î) ¢OèO ö@yèô_$# 4n?tã Èe@ä. 9@t6y_ £`åk÷]ÏiB #[ä÷ã_ ¢OèO £`ßgãã÷Š$# y7oYÏ?ù'tƒ $\Š÷èy 4 öNn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# îƒÍtã ×LìÅ3ym ÇËÏÉÈ  
“dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Baqarah : 260 ).
            Al-Maturidi menjelaskan bahwa nabi Ibrahim meminta kepada tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang telah mati. Permintaan tersebut. Tidak berati nabi Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, yang dimaksud oleh nabi Ibrahim adalah agar iman yang dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, bagi Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Mekipun demikian, ma’rifah bukan esensi iman, melainkan factor penyebab kehadiran iman.[14]
            Adapun pengertian iman menurut Maturidiah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi al-lisan. Yang dimaksud dengan tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati akan keesaan Alllah dan – rasul-rasul yang diutusnya beserta risalah yang dibawa darinya. Adapun tashdiq bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok-pokok ajaran islam secara verbal. Pendapat Maturidiah Bukhara tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah yang sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan, meskipun dengan pengungkapan yang berbeda pula.
            Dari penelaahan karya Al-Maturidi, penulis tidak menemukan pendapatnya berkenaan dengan masalah  fluktuasi iman. Meskipun demikian, komentarnya terhadap Al-Fiqh akbar karya Abu Hanifah tentang fluktuasi iman bisa dijadikan referensi sebagai pendapatnya. Al-Maturidi tidak mengakui adanya fluktuasi iman. Al-maturidi berbeda pendapat dengan Abu Hanifah dalam hal menerima adanya perbedaan individual dalam iman. Hal itu dibuktikan dengan sikap penerimaannya terhadap hadis nabi Muhammad Saw. Yang menyatakan bahwa sekala iman Abu Bakar lebih berat dan lebih besar daripada skala iman seluruh manusia.
Maturidiah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda dengan di atas. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan ibadah-ibadah yang dilakukan dengan ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan tidak lebih bayangan daripada iman. Jika bayangan itu hilang, yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang esensinya. Sebaliknya, dengan kehadiran baying-bayang (ibadah), iman menjadi bertambah.[15]

 --silahkan beri masukan jikalau terdapat kekeliruan atau sebagainya .
       

Daftar pustaka
Ø  Rahman Ritatonga, Ahmad, akidah merakit hubungan manusia dengan khaliknya melalui pendidikan akidah anak usia dini, 2005 .Surabaya : Amelia Surabaya
Ø  Razak, abdul dan Rosihan Anwar,  ilmu kalam, 2014. Bandung : CV PUSTAKA SETIA
Ø Muhammad, amin Nurdin dan  Afifi Fauzi abbas, sejarah pemikiran dalam islam, 1996. Jakarta : PT Pustaka antara bekerja sama dengan LSIK






[1] Rahman Ritatonga, Ahmad, akidah merakit hubungan manusia dengan khaliknya melalui pendidikan akidah anak usia dini, 2005 .Surabaya : Amelia Surabaya, hal. 54-55 cet. 5
[2]  Razak, abdul dan Rosihan Anwar,  ilmu kalam, Bandung : CV PUSTAKA SETIA, hal. 169
[3]  Muhammad, amin Nurdin dan  Afifi Fauzi abbas, sejarah pemikiran dalam islam, 1996. Jakarta : PT Pustaka antara bekerja sama dengan LSIK, hal. 106
[4] Ibid. hal. 106      
[5] Ibid. hal. 107-108
[6] Razak, abdul dan Rosihan Anwar,  ilmu kalam…lop.cit hal. 171
[7] Muhammad, amin Nurdin dan  Afifi Fauzi abbas, sejarah pemikiran…..lop.cit hal.108
[8] Ibid. hal. 109
[9]  Razak, abdul dan Rosihan Anwar,  ilmu kalam…lop.cit hal.174
[10]  Muhammad, amin Nurdin dan  Afifi Fauzi abbas, sejarah pemikiran…..lop.cit hal. 110
[11] Razak, abdul dan Rosihan Anwar,  ilmu kalam…lop.cit hal.174
[12]  Muhammad, amin Nurdin dan  Afifi Fauzi abbas, sejarah pemikiran…..lop.cit hal. 112
 
[13] Razak, abdul dan Rosihan Anwar,  ilmu kalam…lop.cit hal. 174
[14] Ibid..hal.175
[15] Ibid…hal.175176

Tidak ada komentar:

Posting Komentar