A.
Pengetian iman
Esensi
iman itu adalah tashdiq bil qalbi yaitu penerimaan atau pembenaran atau
pengakuan hati. Hati yang dimaksud ialah potensi yang tersimpan dalam diri setiap manusia
yang berfungsi sebagai tempat sebagai perasaan batin dan tempat penyimpanan
pengertian. Pengakuan dengan lidah (ikrar bilisan) dan pengalaman dengan
anggota tubuh ( af’alu bi arkan ), bukan lagi disebut iman arena dua terakhir
ini bukan lagi pekerjaan hati. Dengan demikian kedua hal ini lebih tepat disebut islam bukan esensi iman.
Jelasnya hakikat (esensi) iman ialah pengakuan
hati. Jika demikian halnya maka bagaimana pendapat umum umat Islam yang
mengatakan bahwa rukun iman itu ada enam ? pada dasarnya pendapat itu tidak
dapat disalahkan, namun yang perlu diluruskan adalah bahwa Allah maupun nabi
saw tidak pernah secara jelas menyebut rukun-rukun iman. Yang ada adalah
objek-objek yang wajib diimani, yaitu percaya atau beriman kepada Allah, kepada
Malaikat, kepada kitab-kitab Allah, kepada rasulnya, kepada hari kiamat dan
qadha dan qadar.
Kewajiban beriman kepada enam unsur ini ditegaskan melalui ayat al quran dan hadist.
Seperti : pada surah al-Baqarah ayat 285 tentang kewajiban beriman kepada
Allah, malaikatnya, kitab-kitabnya dan rasulnya :
z`tB#uä ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 <@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur w ä-ÌhxÿçR ú÷üt/ 7ymr& `ÏiB ……¾Ï&Î#ß
”Rasul telah beriman kepada Al
Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang
beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan rasul-rasul-Nya. (mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang
lain) dari rasul-rasul-Nya",(Q.S.Al-Baqarah : 285.).
….قال فأخبرنى عن الإيمان قا ل أن تؤمن با الله و
ملا ئكته وكتبه ورسله واليوم الأ خر وتؤمن
بالقدر خيره وشره . رواه مسلم.
“(jibril)
berkata : beritahu aku tentang iman ( ya rasulullah ). Rasul menjawab : iman
ialah bahwa engkau beriman akhirat
kepada Allah, malaikat-malaikatnya, rasul-rasulnya, dan hari akhirat. Dan
engkau berimn kepada qadha dan yang buruk dari Allah.” (H.R.Muslim).[1]
B.
Perbandingan antar aliran-aliran tentang iman dan kufur :
Persoalan masalah
iman dan kufur dimunculkan pertama kali oleh khawarij ketika mencap kafir
sejumlah tokoh sahabat nabi Muhammad Saw, yang dipandang telah berbuat dosa
besar, antar lain Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi sufyan, Abu Musa
Al-asy’ari, Amr bin ‘Ash, Thalhah bin ‘ubaidilha, Zubair bin ‘Awwam, dan ‘Aisyah,
istri Rasullah Saw. Masalah ini dikembangkan oleh khawarij dengan tesisnya
utama bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.[2]
Khawarij memakai semboyan la hukma illa lillah. Atas dasar itulah
mereka menuduh kafir terhadap Ali, Mu’awiyah, dan semua pengikut mereka. Mereka
memperkuat tuduhan itu dengan ayat Al-quran :
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأ ولئك هم الكافرون
Pernyataan teologis khawarij tersebut menjadi bahan perbincangan
aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh, termasuk alian Murji’ah, Mu’tazilah,
Asy’ariah, dan Marturidiah mengambil bagian dalam pemilik tersebut. Bahkan, di
dalam aliran tersebut terdapat nuansa perbedaan pandangan di antara sesama
pengikutnya.[3]
1.
Aliran Khawarij
Diungkapkan
dalam sejarah mengenai masalah iman dan kufur, bahwa Khawarij mula-mula
memunculkan masalah persoalan teologis seputar masalah “apakah ‘Ali dan
pendukungannya adalah kafir atau tetap mukmin ? “apakah Mu’awiyah dan
pendukungannya telah kafir atau mukmin ? “jawaban atas pertanyaan ini kemudian
menjadi pijakan dasar teologi mereka. Mereka berpendapat karena “Ali
dan Mu’awiyah telah melakukan tahkim kepada manusia, mereka telah berbuat dosa
besar.
Iman
dalam pandangan mereka, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Akan tetapi,
mengerjakan segala perintah kewajiban
agama juga merupakan bagian dari keimanan. Siapa pun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah
dan Muhammad adalah rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama, bahkan
melakukan perbuatan dosa, oleh Khawarij dipandang kafir.
Sebagai
dijelaskan pada bagian terdahulu, semboyan la hukma illa lillah menjadi asas
bagi mereka bagi mereka dalam mengukur apakah seseorang masih mukmin atau sudah
kafir. Asa itu membawa mereka kepada paham, setiap orang yang melakukan
perbuatan dosa besar adalah kafir, karena tidak sesuai dengan hokum yang
ditetapkan Allah. Dengan demikian, orang yang berzina, membunuh sesama manusia
tanpa sebab sah, mukmin, ia telah kafir. Perbuatan dosa yang membawa kepada kafirnya sesseorang
menurut golongan ini terbatas pada dosa besar.
Al-Muhakkimah,
salah satu golongan khawarij asli yang pertama memunculkan paham kafir pada
setiap orang yang berbuat dosa besar dan kekal di neraka.
Golongan
khawarij yang lebih ekstrem ialah al-Azariqah. Golongan ini menganggap syirik
atau polytheisme orang yang melakukan dosa besar. Di dalam ajaran islam dosa
syirik atau polytheisme lebih besar dari dosa kafir. Mereka juga berpendapat
setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka adalah musyrik yang boleh
dibunuh.
Berbeda
dengan golongan al-Zariqah, Al-Najdat bersikap lebih lunak. Menurut golongan
ini orang yang berdosa besar menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah
orang islam yang tidak sepaham dengan golonganya. Adapun pengikutnya jika
melakukan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan kekal dalam
neraka dan kemudian akan masuk surga. [4]
Doda
kecil akan menjadi besar, kalau dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakannya
sendiri menjadi musyrik.
Golongan
khawarij lain ialah al-Ajaridah, golongan ini lebih lunak lagi dari Nadjat.
Menurutgolongan ini orang islam yang berbeda di luar ilayah kekuasaan mereka
bukan musyrik tetapi tetap mukmin.
Padahal yang lain mereka kemukakan ialah anak kecil tidak menjadi musyrik
karena tuannya. Oleh karena itu tidak boleh dibunuh.
Al-Sufriyah
berpendapat, tidak semua dosa besar menjadi kufur. Pelaku dosa besar yang
menjadi kafir ialah yang melakukan dosa yang diancam dengan sangsi akhirat
seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang yang berbuat dosa besar yang
ada saingannya didunia seperti berzina dan membunuh tidak menjadi kafir.
Golongan
terakhir dari khawarij ialah al-ibadiah. Mereka berpendapat orang islam yang
tidak sepaham dengan mereka kafir bukan musyrik dan boleh mengawini mereka.
Orang yang berbuat dosa besar dipandang kafir, hikmah buka kafir millah.
Kelihatan golongan al-ibadiah ini termasuk yang paling moderatdiantara
golongan-golongan khawarij.[5]
2.
Aliran Muji’ah
Abu
hasan al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah berdasarkan
pandangannya tentang iman sebanyak 12 subsekte, yaitu al-jahmiyah,
Ash-shalihiah, al-Yunusiah, Asy-syimirah, As-saubaniyah, An-Najjariah,
Al-Kailaniah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya,
at-Tumaniah, al-Marisiah, dan al-karamiah. Semantara itu, Harun Nasution dan Abu
zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat
(Murji’ah sunnah) dan Murji’ah ekstrem (Murji’ah bid’ah).
Iman
menurut Abu Hanifah adalah Iqrar dan tashdiq. Ditambahkannya pula bahwa iman tidak
bertambah dan tidak berkurang. Hal ini
merupakan sikap umum yang ditunjukkan oleh Murji’ah, baik ekstrem maupun
moderat, seperti Al-jahmiah, As-Shalihiah, Asy-Syimriah, dan Al-Gailaniah.
Selanjutnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh umat Islam sama dalam tauhid
dan keimanan. Meskipun demikian, mereka berbeda dari segi intensitas amal
perbuatannya. [6]
Golongan
Murji’ah ekstrem mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam
hati ( tashdiq bi al-qalb). Artinya mengakui dengan hati bahwa tidak ada tuhan
selain Allah dan Muhammad rasulnya. [7]Berangkat
dari konsep ini, Murji’ah berendapat,seseorang tidak menjadi kafir karena
melakukan dosa besar, bahkan menyatakan kekufurannya secara lisan. Demikian
juga tidak kafir orang islam yang menyembah berhala dan ikut merayakan natal
dengan mengikuti ibadah-ibadah Kristen di dalam gereja, kaena yang paling
penting menurut mereka adalah tashdiq dalam hati, sedangkan amal mereka pandang
tidak penting.
Diantara
alasan mereka yang mempergunakan untuk menguatkan paham tersebut ialah pendekatan
bahasa, iman dalam bahasa ialah Tashdiq, sedangkan perbuatan dalam bahasa tidak
dinamakan tasdiq. Persoalam tashdiq urusan hati, sedangkan perbuatan urusan
anggota tubuh (al-arkan) antara keduanya tidak saling mempengaruhi. Jadi
seseorang baru dapat Dikatakan kafir, jika ia tidak mengakui dalam hati
terhadap Allah dan kerasulan Muhammad.
Golongan
Murji’ah moderat berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tashdiq al-qalb dan
iqrar bi al-lisan. Pembenaran dalam hati saja tidak cukup. Demikian dengan
lidah, tidak dapat dikatakan iman. Kedua unsur itu merupakan juzu’ iman yang
tidak dapat dipisahkan.
Menurut
mereka bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak dikekal di neraka, tapi
dihukum dalam neraka sesuai dengan dosa yang mereka lakukan. Kalau tuhan mengampuninya
ia bebas dari neraka, kalau tidak dapat ampunan, ia masuk neraka tetapi
akhirnya dikeluarkan dan masuk surga.
Konsep
kafir menurut mereka, hanyalah orang yang tidak menganut paham tashdiq dan
iqrar. Jadi golongan ini kelihatan sangat berbeda dengan khawarij. Kalau
khawarij mementingkan iman, Murji’ah lebih mementingkan iman dari perbuatan
perbuatan tidak dapat dijadikan ukuran terhadap mukmin atau tidaknya
seseorang..
Satu
hal yang patut dicatat adalah seluruh subsekte Murji’ah yang disebutkan oleh
Asy’ari, kecuali As-Saubaniah, At-Tuminiah, dan Al-Karramiah, memasukkan unsur
Ma’rifah (pengetahuan) dalam konsep iman mereka. Pertanyaanya, apa yang
dimaksudkan dengan Ma’rifah ? mereka beranggapan bahwa yang dimaksud dengan
ma’rifah adalah cinta kepada tuhan dan tunduk kepadanya (al-mahabah wa
al-khudu’).[8]
3.
Aliran Mu’tazilah
Menurut
golongan ini iman bukan hanya tashdiq dalam arti menerima sebagai suatu yang
benar apa yang disampaikan orang lain, akan tetapi iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban
kepada tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada tuhan selain
Allah dan Muhammad rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu
tidak dapat dikatakan mukmin.tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berati
pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada tuhan.
Aspek
penting konsep Mu’tazilah tentang iman adalah yang mereka indefikasikan sebagai
ma’rifah (pengetahuan dengan akal). Ma’rifah menjadi unsur penting dari
iman karena pandangan Mu’tazilah yang
bercorak rasional. Ma’rifah sebagai unsur
pokok yang rasional dari iman, dalam pandangan Mu’tazilah berimplikasi
pada sikap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi at-taqlid). Disini Mu’tazilah
sangat menekankan pentingnya pemikiran logika atau penggunaan akal bagi
keimanan. Apalagi bagi Mu’tazilah, iman seseorang dikatakan benar apabila
berdasarkan akal, bukan taqlid kepada orang lain.
Pandangan
Mu’tazilah seperti diatas, menurut Toshihiko Izutsu, pakar teologi Islam asal
Jepang, sangat sarat dengan konsekuensi dan implikasi yang cukup fatal. Sebab,
hanya para mutakallim (teolog) yang
benar-benar dapat menjadi orang yang beriman. Sama halnya masyarakat awam yang
mayoritas umat biasa dengan pemikiran teologis, menurut konsepsi Mu’tazilah
tersebut tidak dipandang memenuhi sebagai orang yang benar-benar beriman
(mukmin). [9]
Selain
itu, istilah kafir menurut Mu’tazilah ditunjukkan kepada orang yang berhak
menerima siksa berat di neraka. Oleh karena pelaku dosa besar tidak kafir,
mereka tidak berhak mendapat siksa yang berat di neraka. Semestinya ia tidak
perlu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi karena ia bukan mukmin ia tidak dapat
dimasukkan ke dalam surga. Jadi satu-satunya tempat buat dia adalah neraka,
atas dasar keadilan ia dimasukkan kedalam neraka dengan siksa yang lebih
ringan.[10]
Sungguhpun
menurut Mu’tazilah iman bukan tasdiq, tetapi amal, namun kelihatan mereka tidak
dapat memisahkan iman dan tasdiq. Sebab, kalau tasdiq tidak dipandang sebagai
iman, semestinya orang mukmin yang melakukan dosa besar atau tidak mengamalkan
perintah Allah yang bersifat wajib kafir bukan fasik, bukan kafir dan bukan
mukmin. Mereka tidak menghukumnya kafir karena ia masih mengakui ke esaan tuhan
dan masih banyak perbuatan baik yang
masih dikerjakannya. Tidak dikatakan mukmin karena imannya tidak sempurna, karena
iman itu merupakan sifat yang terpuji, tidak pantas pelaku dosa besar mendapat
pujian. Hal ini menunjukkan tashdiq bagi mereka merupakan unsur iman, seperti
halnya amal dan pengakuan dengan lidah (iqrar). Jadi konsepsi iman yang
dimajukan oleh kaum Mu’tazilah ialah pengakuan dengan hati, ucapan dengan
lisan, dan perbuatan dengan anggota tubuh.
Karena
bagi mereka amal merupakan unsur keimanan, ia dapat. Karena meningkatkan dan
melaksanakan amal kebaikannya, imannya semakin meningkatkan dan melaksanakan
amal kebaikannya, imannya semakin bertambah. Sebaliknya, apabila setiap kali
berbuat maksiat, imannya semakin berkurang. Kenyataan ini dapat dipahami
seperti halnya Khawarij, memasukkan seperti unsur amal sebagai unsur peting
dari iman (al-‘amal juz min al-iman).
4.
Aliran Asy’ariyah
Di
dalam karya-karya abu Al-Hasan Al-Asy’ari.seperti Maqalat, al-ibanah dan
al-Luma’, iman didefinisikannnya secara berbeda satu sama lain. Dalam Maqalat
dan Ibanah disebutkan bahwa iman adalah Qawl dan amal dan dapat berkurang.
Dalam al-Luma’, iman diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya
bahwa kata “mukmin”, seperti dijumpai dalam al-quran surat Yusuf ayat 17
memiliki hubungan makna dengan kata shadiqin dalam ayat itu, dengan demikian,
menurut Al-Asyari, iman adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan hati).[11]
Oleh
karena itu, iman menurut golongan ini hanyalah tashdiq, sebab tashdiq itu merupakan hakikat dari ma’rifah. Siapa yang
mengetahui sesuatu itu benar, ia akan membenarkannya dengan hatinya.
Mengenai
penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak
termasuk hakikat iman yaitu tashdiq. Argumenttasi mereka ialah surah an-nahl
ayat 106 :
`tB txÿ2 «!$$Î/ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¾ÏmÏZ»yJÎ) wÎ) ô`tB onÌò2é& ¼çmç6ù=s%ur BûÈõyJôÜãB Ç`»yJM}$$Î/
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).”[12]
Seseorang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan
terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan tuhan dan rasulnya, ia tetap
dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada
diluar juzu’ iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap
berada dalam hatinya.
Iman dapat bertambah dan berkurang. Bertambah dan berkurangnya
seseorang iman terletak pada keadaan pengakuan hati seseorang terhadap Allah
dan rasulnya. Dalil naqli yang mereka pakai ialah surat al-anfal ayat 2 :
$yJ¯RÎ) cqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sÎ) tÏ.è ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sÎ)ur ôMuÎ=è? öNÍkön=tã ¼çmçG»t#uä öNåkøEy#y $YZ»yJÎ)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah
mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya).
Dari penjelasan-penjelasan di
atas, disamping mengonvergensikan kedua definisi yang berbeda yang diberikan
al-ays’ari dalam Maqalat, Al-Ibanah dan Al-Luma’ pada satu titik pertemuan,
juga menempatkan ketiga unsur iman itu (tashdiq, Qawl, dan amal) pada posisinya
masing-masing. Jadi, bagi Al-Asy’ari juga Ays’ariyah persyaratan minimal untuk
adanya iman hanyalah tashdiq, yang diekspresikan secara verbal akan berbentuk
syahadatain.[13]
5.
Aliran Maturidiah
Aliran
Maturidiah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb bukan
semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian iman semacam ini dikemukakan oleh
Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiah, salah satu subsekte
Murji’ah. Ia beragumentasi dengan al-quran surat al-Hujuat ayat 14 .
* ÏMs9$s% Ü>#{ôãF{$# $¨YtB#uä ( @è% öN©9 (#qãZÏB÷sè? `Å3»s9ur (#þqä9qè% $oYôJn=ór& $£Js9ur È@äzôt ß`»yJM}$# Îû öNä3Î/qè=è% ( bÎ)ur (#qãèÏÜè? ©!$# ¼ã&s!qßuur w Nä3÷GÎ=t ô`ÏiB öNä3Î=»yJôãr& $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊÍÈ
“orang-orang Arab Badui
itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum
beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke
dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (Q.S.Al-Hujurat :14).
Menurut al-Maturidi sebagai suatu
penegasan bahwa iman tidak cukup hanya dengan perkataan, sementara kalbu tidak
beriman apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pertanyaan iman menjadi
batal apabila hati tidak mengikuti ucapan lidah. Meskipun demikian, Al-Maturidi
tidak berhenti sampai disana, tashdiq, seperti yang dipahami diatas adalah
harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil ma’rifah menurut Maturidi adalah
yang didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut,
al-Maturidi mendasari pandanganya dengan dalil naqli surat Al-baqarah ayat 260.
Yang berbunyi :
øÎ)ur tA$s% ÞO¿Ïdºtö/Î) Éb>u ÏRÍr& y#ø2 Çósè? 4tAöqyJø9$# ( tA$s% öNs9urr& `ÏB÷sè? ( tA$s% 4n?t/ `Å3»s9ur £`ͳyJôÜuÏj9 ÓÉ<ù=s% ( tA$s% õãsù Zpyèt/ör& z`ÏiB Îö©Ü9$# £`èd÷ÝÇsù y7øs9Î) ¢OèO ö@yèô_$# 4n?tã Èe@ä. 9@t6y_ £`åk÷]ÏiB #[ä÷ã_ ¢OèO £`ßgãã÷$# y7oYÏ?ù't $\÷èy 4 öNn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# îÍtã ×LìÅ3ym ÇËÏÉÈ
“dan (ingatlah) ketika
Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau
menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu
?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar
hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian)
ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman):
"Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian
itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan
segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Q.S. Al-Baqarah : 260 ).
Al-Maturidi menjelaskan bahwa nabi
Ibrahim meminta kepada tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan
orang yang telah mati. Permintaan tersebut. Tidak berati nabi Ibrahim belum
beriman. Akan tetapi, yang dimaksud oleh nabi Ibrahim adalah agar iman yang
dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, bagi
Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Mekipun demikian,
ma’rifah bukan esensi iman, melainkan factor penyebab kehadiran iman.[14]
Adapun pengertian iman menurut
Maturidiah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi adalah tashdiq bi
al-qalb dan tashdiq bi al-lisan. Yang dimaksud dengan tashdiq bi al-qalb adalah
meyakini dan membenarkan dalam hati akan keesaan Alllah dan – rasul-rasul yang
diutusnya beserta risalah yang dibawa darinya. Adapun tashdiq bi al-lisan
adalah mengakui kebenaran seluruh pokok-pokok ajaran islam secara verbal.
Pendapat Maturidiah Bukhara tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah
yang sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan,
meskipun dengan pengungkapan yang berbeda pula.
Dari penelaahan
karya Al-Maturidi, penulis tidak menemukan pendapatnya berkenaan dengan
masalah fluktuasi iman. Meskipun
demikian, komentarnya terhadap Al-Fiqh akbar karya Abu Hanifah tentang
fluktuasi iman bisa dijadikan referensi sebagai pendapatnya. Al-Maturidi tidak
mengakui adanya fluktuasi iman. Al-maturidi berbeda pendapat dengan Abu Hanifah
dalam hal menerima adanya perbedaan individual dalam iman. Hal itu dibuktikan
dengan sikap penerimaannya terhadap hadis nabi Muhammad Saw. Yang menyatakan
bahwa sekala iman Abu Bakar lebih berat dan lebih besar daripada skala iman
seluruh manusia.
Maturidiah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda dengan di
atas. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa
bertambah dengan ibadah-ibadah yang dilakukan dengan ibadah-ibadah yang
dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa
ibadah-ibadah yang dilakukan tidak lebih bayangan daripada iman. Jika bayangan
itu hilang, yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang esensinya.
Sebaliknya, dengan kehadiran baying-bayang (ibadah), iman menjadi bertambah.[15]
--silahkan beri masukan jikalau terdapat kekeliruan atau sebagainya .
Daftar pustaka
Ø Rahman Ritatonga, Ahmad, akidah merakit
hubungan manusia dengan khaliknya melalui pendidikan akidah anak usia dini, 2005 .Surabaya : Amelia Surabaya
Ø Razak, abdul dan Rosihan Anwar, ilmu kalam, 2014. Bandung : CV PUSTAKA SETIA
Ø Muhammad, amin Nurdin dan
Afifi Fauzi abbas, sejarah pemikiran dalam islam, 1996. Jakarta :
PT Pustaka antara bekerja sama dengan LSIK
[1]
Rahman Ritatonga, Ahmad, akidah
merakit hubungan manusia dengan khaliknya melalui pendidikan akidah anak usia dini, 2005 .Surabaya : Amelia Surabaya, hal. 54-55
cet. 5
[3] Muhammad, amin Nurdin dan Afifi Fauzi abbas, sejarah pemikiran dalam
islam, 1996. Jakarta : PT Pustaka antara bekerja sama dengan LSIK, hal. 106
[4]
Ibid. hal. 106
[5]
Ibid. hal. 107-108
[6]
Razak, abdul dan Rosihan Anwar, ilmu
kalam…lop.cit hal. 171
[7]
Muhammad, amin Nurdin dan Afifi Fauzi
abbas, sejarah pemikiran…..lop.cit hal.108
[8]
Ibid. hal. 109
[11]
Razak, abdul dan Rosihan Anwar, ilmu
kalam…lop.cit hal.174
[13]
Razak, abdul dan Rosihan Anwar, ilmu
kalam…lop.cit hal. 174
[14]
Ibid..hal.175
[15]
Ibid…hal.175176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar